Pria dan pernikahan ..
Rasanya judul itu terlalu sadis dan 'berbau' ala majalah Femina atau mungkin Kartini :)
Tapi rasanya sedikit share untuk hal itu gada salahnya deh. Weekend ini, saya menjadi bagian dari acara pernikahan kerabat laki-laki saya. Tapi entah kenapa rasanya saya merasa sangat beruntung dari dia dalam hal pernikahan.
Saya merasa beruntung karena dulu saat menikah, adalah benar karena keinginan saya.
Saya merasa bangga, karena menikahi seseorang yang benar-benar saya cintai, karena memang pilihan saya sendiri. Bahkan Saya merasa sangat antusias melaksanakan segala kegiatan menjelang hari pernikahan saya, 5 tahun yang lalu itu. Yang semua masih terekam jelas dibenak saya.
Mulai dari menjahit sendiri jas kebanggaan saya, dengan design yang saya mau. Pilihan kain yang saya suka, sampai memantau hasil kerja penjahitnya.
Tentang mas kawin, saya bela-belain cari uang lama dipasar loak Johar Plaza, sampai bolak-balik beberapa kali ke tukang loak yang berbeda, demi mendapatkan rangkaian uang koin untuk menggenapi 'nominal' agar sesuai dengan tanggal hari pernikahan saya. Tentu saja di mix dengan uang yang berlaku ya :) bukan semua bekas. Hingga proses merakitnya sesuai dengan passion art saya.
Seserahan pengantin pun tak lepas dari campur tangan saya.
Memilih semuanya sendiri. Mulai dari pakaian dalam untuk calon istri saya, mukena, Sajadah, perhiasan, dan masih banyak lagi hal lainnya, dimana saya benar-benar menjadi "bagian" dari acara yang sangat sakral dan penting bagi hidup saya. Dan semua dari kantong penghasilan saya pribadi.
Tapi hari ini, saya melihat 'semangat' menggebu-gebu seperti saya kala itu, tidak nampak sama sekali di kerabat laki-laki saya itu. Semuanya seolah dia tak mau tahu. Membiarkan beberapa detil penting seumur hidupnya terlewat begitu saja, atau bahkan 'diatur' oleh Ibunya. Mulai uang mas kawin, seserahan apalagi, dan parahnya jas pinjem saya.
Hey, ini bukan soal kemampuan financial yang saya bahas. Karena dibandingkan 10k ali lipatpun dijaman saya itu, dimana saya keteteran banget, saat ini dia bisa mendapatkan lebih banyak dan tercukupi. Yang saya sesalkan hanya "semangat" itu tidak ada. Tidak nampak.
Tapi akhirnya saya hanya bisa terdiam, tercekat tanpa ucapan keluar nyata.
Karena dia menikah bukan dengan orang yang benar-benar dicintainya.
Bukan sosok perempuan yang dulu sering bolak-balik mampir ke kamar kost saya.
Menumpang berteduh dari hujan, atau bahkan dari cari lowongan pekerjaan.
Bukan sosok perempuan yang benar-benar dia cintai seperti kala itu.
Tapi sosok perempuan yang dijodohkan dengannya.
Dan dia harus menerima, hari ini.
Ya, "semangat" itu layu karena bukan dia tidak bisa.
Tapi saya merasa semangat itu sengaja dia "matikan" , disimpan untuk sosok perempuan yang terdahulu.
Rasanya judul itu terlalu sadis dan 'berbau' ala majalah Femina atau mungkin Kartini :)
Tapi rasanya sedikit share untuk hal itu gada salahnya deh. Weekend ini, saya menjadi bagian dari acara pernikahan kerabat laki-laki saya. Tapi entah kenapa rasanya saya merasa sangat beruntung dari dia dalam hal pernikahan.
Saya merasa beruntung karena dulu saat menikah, adalah benar karena keinginan saya.
Saya merasa bangga, karena menikahi seseorang yang benar-benar saya cintai, karena memang pilihan saya sendiri. Bahkan Saya merasa sangat antusias melaksanakan segala kegiatan menjelang hari pernikahan saya, 5 tahun yang lalu itu. Yang semua masih terekam jelas dibenak saya.
Mulai dari menjahit sendiri jas kebanggaan saya, dengan design yang saya mau. Pilihan kain yang saya suka, sampai memantau hasil kerja penjahitnya.
Tentang mas kawin, saya bela-belain cari uang lama dipasar loak Johar Plaza, sampai bolak-balik beberapa kali ke tukang loak yang berbeda, demi mendapatkan rangkaian uang koin untuk menggenapi 'nominal' agar sesuai dengan tanggal hari pernikahan saya. Tentu saja di mix dengan uang yang berlaku ya :) bukan semua bekas. Hingga proses merakitnya sesuai dengan passion art saya.
Seserahan pengantin pun tak lepas dari campur tangan saya.
Memilih semuanya sendiri. Mulai dari pakaian dalam untuk calon istri saya, mukena, Sajadah, perhiasan, dan masih banyak lagi hal lainnya, dimana saya benar-benar menjadi "bagian" dari acara yang sangat sakral dan penting bagi hidup saya. Dan semua dari kantong penghasilan saya pribadi.
Tapi hari ini, saya melihat 'semangat' menggebu-gebu seperti saya kala itu, tidak nampak sama sekali di kerabat laki-laki saya itu. Semuanya seolah dia tak mau tahu. Membiarkan beberapa detil penting seumur hidupnya terlewat begitu saja, atau bahkan 'diatur' oleh Ibunya. Mulai uang mas kawin, seserahan apalagi, dan parahnya jas pinjem saya.
Hey, ini bukan soal kemampuan financial yang saya bahas. Karena dibandingkan 10k ali lipatpun dijaman saya itu, dimana saya keteteran banget, saat ini dia bisa mendapatkan lebih banyak dan tercukupi. Yang saya sesalkan hanya "semangat" itu tidak ada. Tidak nampak.
Tapi akhirnya saya hanya bisa terdiam, tercekat tanpa ucapan keluar nyata.
Karena dia menikah bukan dengan orang yang benar-benar dicintainya.
Bukan sosok perempuan yang dulu sering bolak-balik mampir ke kamar kost saya.
Menumpang berteduh dari hujan, atau bahkan dari cari lowongan pekerjaan.
Bukan sosok perempuan yang benar-benar dia cintai seperti kala itu.
Tapi sosok perempuan yang dijodohkan dengannya.
Dan dia harus menerima, hari ini.
Ya, "semangat" itu layu karena bukan dia tidak bisa.
Tapi saya merasa semangat itu sengaja dia "matikan" , disimpan untuk sosok perempuan yang terdahulu.
No comments:
Post a Comment