Aku tergopoh..
Basah, kuyup sesekali menyeka rambut.
Tak kentara rasa keringat, atau tetesan hujan.
Merah disudut kiri.
Hijau di tengah.
Gombal merapat di sisi tembok.
Semua bak berebut, berusaha menahan derasnya tiap tetesan yang semakin deras.
Sudut rumah bocor. Tak kuat menahan terjangan hujan malam.
Membabi buta, tak pedulikan tanda lelah.
. . .
Sejenak pikiran melayang, mengingat memori dulu yang tiba-tiba terbayang ketika masih kecil.
Bangun dengan malasnya di pagi hari, melihat liat perabotan rumah morat marit. Bak, ember, dan kain pel tak karuan dimana-mana. Tak sedetikpun terdengar saat terlelap malam atas apa yang terjadi. Tidak paham sedikitpun. Baru saat ini menyadari dan merasa, ternyata Bapak ...,
Saat hujan deras, memastikan anak dan istrinya aman dengan tekun memeriksa setiap sudut penjuru rumah. Menambal bocor, menadah tetesan demi tetesan ditengah malam saat saya, Ibu dan Kakak tertidur pulas. Tanpa saya mengerti, sebagian waktu istirahat malamnnya terkikis atas rasa tanggungjawabnya. Bahkan tak setetespun butiran air hujan, terasa di kulit tubuh. Semua dilakukan tanpa mengeluh.
Malam ini dalam basah dan dinginnya malam, ingat nasehat Bapak "Jadi laki-laki itu tanggung jawab, bisa menjaga anak istri dari gangguan apapun. Mulai tetesan hujan bahkan sampai tetesan darah." Hujan deras seolah penyampai pesan dan balutan kerinduan. Atap bocor sudut rumah menjadi pertanda, saat saya masih terjaga mengingat tindakan Bapak dulu itu. Kali ini aku mengaku sedikit ada rindu dihatiku. Meski hampir di paruh sisa umurmu aku tak pernah mau untuk sebentarpun mengingatmu.
Bapak..,
tak terasa waktu melaju, dan anakmu sekarang telah menjadi penjaga cucumu. Cucu yang belum sempat kau lihat semakin dewasanya, dan kini aku jaga dengan senyum indah tidur pulasnya.
Bapak...,
dalam hujan deras malam ini aku mengingatmu, dengan rindu yang jarang sekali aku mau.
Kalau aku boleh berbisik dalam deras malamMU, kutitipkan doa untuk Bapakku.
Semoga bahagia dalam bentangan surgaMU