Oct 11, 2008

(efek) Laskar Pelangi

Semalam pas ON AIR, tiba-tiba dapat sms dari bini:

Sandy kasian pa..nangis terus. Aq ketok rumahnya, tnyt lg sakit. Untung obat batuknya Dva msh ada. Aq kasihkan k Sandy. plus tak kash susunya Dva.tp bkn dotnya Dva lho. kasian aja.meski miskin kan Sandy tetep pnya hak utk sehat.hehehe.habis liat Laskar Pelangi soalnya.

Sms yang membanggakan bagi Saya, sebagai suaminya..dan (jujur) saya bahagia diberi pendamping spt dia.

Tetangga pas samping rumah, (maaf) ada yang kurang mampu, atau boleh dibilang sangat miskin dan kekurangan. Meskipun dibanding kami yang juga gak berlebih-lebih amat.

Dibandingkan Deeva, Sandy nama anak balita laki yang tidak terurus, suka sakit-sakitan. Makan nasi kalau ada, susu? tentu tidak. Cuma air gula saja. Jangan ditanya pakaian, mainan, dsb yang dibandingkan Deeva (maaf bukan maksud pamer) gak ada apa-apanya.

Truss, apa hubungannya dengan Laskar Pelangi ??
Ya itu dia, habis Kamis kemarin liat...bagi kami film itu memang memberi pesan moral :
- Jangan menyerah untuk menggapai mimpi
- Dannn, meski miskin, orang berhak mendapatkan pendidikan...

Nah, bini saya mungkin terinspirasi..meski (tetangga) saya miskin, dia juga berhak untuk sehat. tanpa dibedakan dengan derajat yang lebih kaya. Kadang saja kita gak sadar, dan menganggap mereka yang 'kurang' seberuntung kita memang pantas untuk 'kekurangan'. Miskin ya miskin saja.

Tapi tidak, hari ini Laskar Pelangi juga membuka mata kami, ternyata meski miskin mereka masih berhak mendapatkan sesuatu 'hak' yang sama seperti kita. Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan, Pekerjaan, dsb.

Oct 9, 2008

THE REASON FOR RESIGNATION

Such a long time ago, I've got an e-mail from mbak Iping - suarasurabaya.net . Don't know why, I keep it inside my inbox. I thought, it could be important (for me) future !!. Now days, when "that time" is too close for me, it's necessary need to read. Very inspiring, and get the message !!


+++ Mengapa KARYAWAN meninggalkan perusahaan? +++
WHY TO MOVE (OR NOT TO MOVE)

Mengapa karyawan meningggalkan perusahaan (atau paling tidak sering ngedumel)? Berikut ini petikan dari bukunya Haris Priyatna yang berjudul Azim Premji, "Bill Gates" dari India (terbitan Mizania 2007). Azim Premji adalah milyuner muslim dari India yang telah menyulap Wipro, dari sebuah perusahaan minyak goreng menjadi konglomerasi perusahaan dengan salah satunya adalah Wipro Technologies yang merupakan ikon kebangkitan industri teknologi informasi di India. Dia urutan ke-21 orang terkaya di dunia versi Forbes 2007. Azim dikenal sebagai milyuner yang bergaya hidup sederhana. Berikut ini pandangan Premji tentang mengapa karyawan betah dan tidak betah dengan perusahaan. Wipro sendiri memiliki tinkat turn-over (kepindahan) karyawan yang sangat rendah, padahal gajinya tidak lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis seperti Infosys dan TCS.

Mengapa KARYAWAN meninggalkan perusahaan?
Banyak perusahaan yang mengalami persoalan tingginya tingkat pergantian karyawan. Betapa orang mudah keluar-masuk perusahaan itu. Orang meninggalkan perusahaan untuk gaji yang lebih besar, karier yang lebih
menjanjikan, lingkungan kerja yang lebih nyaman, atau sekedar alasan pribadi. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan ini.

Belum lama ini, Sanjay, seorang teman lama yang merupakan desainer software senior, mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan internasional prestisius untuk bekerja di cabang operasinya di India sebagai pengembang software. Dia tergetar oleh tawaran itu. Sanjay telah mendengar banyak tentang CEO
perusahaan ini, pria karismatik yang sering dikutip di berita-berita bisnis karena sikap visionernya. Gajinya hebat. Perusahaan itu memiliki kebijakan SDM ramah karyawan yang bagus, kantor yang masih baru, dan teknologi mutakhir, bahkan sebuah kantin yang menyediakan makanan lezat. Sanjay segera menerima tawaran itu. Dua kali dia dikirim ke luar negeri untuk pelatihan. "Saya sekarang menguasai pengetahuan yang paling baru", katanya tak lama setelah bergabung. Ini betul-betul pekerjaan yang hebat dengan teknologi mutakhir.

Ternyata, kurang dari delapan bulan setelah dia bergabung, Sanjay keluar dari pekerjaan itu. Dia tidak punya tawaran lain di tangannya, tetapi dia mengatakan tidak bisa bekerja di sana lagi. Beberapa orang lain di departemennya pun berhenti baru-baru ini. Sang CEO pusing terhadap tingginya tingkat pergantian karyawan. Dia pusing akan uang yang dia habiskan dalam melatih mereka. Dia bingung karena tidak tahu apa yang terjadi. Mengapa karyawan berbakat ini pergi walaupun gajinya besar ? Sanjay berhenti untuk satu alasan yang sama yang mendorong banyak orang berbakat pergi. Jawabannya terletak pada salah satu penelitian
terbesar yang dilakukan oleh Gallup Organization. Penelitian ini menyurvei lebih dari satu juta karyawan dan delapan puluh ribu manajer, lalu dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul First Break All the Rules.

Penemuannya adalah sebagai berikut:
Jika orang-orang yang bagus meninggalkan perusahaan, lihatlah atasan langsung/tertinggi di departemen mereka.
Lebih dari alasan apapun, dia (atasan) adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam organisasi. Dan dia adalah alasan mengapa mereka berhenti, membawa pengetahuan, pengalaman, dan relasi bersama mereka. Biasanya langsung ke pesaing. Orang meninggalkan manajer/direktur anda, bukan perusahaan, tulis Marcus Buckinghamdan Curt Hoffman penulis buku First Break All the Rules. Begitu banyak uang yang telah dibuang untuk menjawab tantangan mempertahankan orang yang bagus - dalam bentuk gaji yang lebih besar, fasilitas dan pelatihan yang lebih baik. Namun, pada akhirnya, penyebab kebanyakan orang keluar adalah manajer. Kalau Anda punya masalah pergantian karyawan yang tinggi, lihatlah para manajer/direktur Anda terlebih dahulu. Apakah mereka membuat orang-orang pergi?
Dari satu sisi, kebutuhan utama seorang karyawan tidak terlalu terkait dengan uang, dan lebih terkait dengan bagaimana dia diperlakukan dan dihargai.
Kebanyakan hal ini bergantung langsung dengan manajer di atasnya.

Uniknya, bos yang buruk tampaknya selalu dialami oleh orang-orang yang bagus. Sebuah survei majalah Fortune beberapa tahun lalu menemukan bahwa hampir 75 persen karyawan telah menderita di tangan para atasan yang sulit. Dari semua penyebab stres di tempat kerja, bos yang buruk kemungkinan yang paling parah. Hal ini langsung berdampak pada kesehatan emosional dan produktivitas karyawan. Pakar SDM menyatakan bahwa dari semua bentuk tekanan, karyawan menganggap penghinaan di depan umum adalah hal yang paling tidak bisa diterima. Pada kesempatan pertama, seorang karyawan mungkin tidak pergi, tetapi pikiran untuk melakukannya telah tertanam. Pada saat yang kedua, pikiran itu diperkuat. Pada saat yang ketiga kalinya, dia mulai mencari pekerjaan yang lain. Ketika orang tidak bisa membalas kemarahan secara terbuka, mereka melakukannya dengan serangan pasif, seperti: dengan membandel dan memperlambat kerja, dengan melakukan apa yang diperintahkan saja dan tidak memberi lebih, juga dengan tidak menyampaikan informasi yang krusial kepada sang bos.

Seorang pakar manajemen mengatakan, jika Anda bekerja untuk atasan yang tidak menyenangkan, Anda biasanya ingin membuat dia mendapat masalah. Anda tidak mencurahkan hati dan jiwa di pekerjaan itu. Para manajer bisa membuat karyawan stres dengan cara yang berbeda-beda: dengan terlalu mengontrol, terlalu curiga, terlalu mencampuri, sok tahu, juga terlalu mengecam. Mereka lupa bahwa para pekerja bukanlah aset tetap, mereka adalah agen bebas. Jika hal ini berlangsung terlalu lama, seorang karyawan akan berhenti - biasanya karena masalah yang tampak remeh. Bukan pukulan ke-100 yang merobohkan seorang yang baik, melainkan 99 pukulan sebelumnya. Dan meskipun benar bahwa orang meninggalkan pekerjaan karena berbagai alasan, untuk kesempatan yang lebih baik atau alasan khusus, mereka yang keluar itu sebetulnya bisa saja bertahan, kalau bukan karena satu orang yang mengatakan kepada mereka, seperti yang dilakukan bos Sanjay: Kamu tidak penting. Saya bisa mencari puluhan orang seperti kamu.

Meskipun tampaknya mudah mencari karyawan, pertimbangkanlah untuk sesaat biaya kehilangan seorang karyawan yang berbakat. Ada biaya untuk mencari penggantinya. Biaya melatih penggantinya. Biaya karena tidak memiliki seseorang untuk melakukan pekerjaan itu sementara waktu. Kehilangan klien dan relasi yang telah dibina oleh orang tersebut. Kehilangan moril sejawat kerjanya. Kehilangan rahasia perusahaan yang mungkin sekarang dibocorkan oleh orang tersebut kepada perusahaan lain. Plus, tentu saja, kehilangan reputasi perusahaan. Setiap orang yang meninggalkan sebuah korporasi akan menjadi dutanya, entah tentang kebaikan atau keburukan. Demikian pesan Azim Premji. Bagaimana pendapat Anda (sebagai bawahan maupun atasan) ?


Hmpph ...how about you ?
Let me sure..this is the sign for me..to find Lentera Jiwa (finally)



LENTERA JIWA (sebuah jawaban)

"Bang Andy berani keluar dari Metro TV dan mengejar Lentera Jiwanya karena Bang Andy sudah mapan secara finansial. Tapi bagaimana dengan mereka yang jangankan untuk mengejar Lentera Jiwanya, untuk makan sehari-hari saja sudah setengah mati. Seandainya Bang Andy belum mapan, apakah Bang Andy juga berani keluar dari Metro TV untuk mengejar Lentera Jiwa Bang Andy?"

Itu salah satu komentar pembaca menanggapi tulisan saya "Lentera Jiwa" di Andy's Corner beberapa waktu lalu. Komentar senada juga tak kalah banyak. Sebagian bahkan menganggap di jaman susah seperti sekarang ini, bisa mendapat pekerjaan saja sudah harus bersyukur. Boro-boro mengejar "Lentera Jiwa". Bayu, seorang anak muda yang bertugas di imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, setelah melihat nama di paspor saya wajahnya langsung berubah sumringah. Senyumnya melebar dan matanya menatap saya dengan pandangan berbinar-binar (setidaknya itu yang saya rasakan). Dia mengaku senang bertemu saya. Sebab, katanya, setelah membaca tulisan 'Lentera Jiwa', ada pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

"Saya ikut senang Pak Andy sudah menemukan Lentera. Cuma saya masih penasaran, apakah setiap orang akan menemukan lentera jiwanya?" Ujar Bayu penuh semangat. Dalam percakapan singkat saat ketika saya hendak ke Boston itu, Bayu bercerita dia membaca tulisan "Lentera Jiwa" yang saya tulis itu melalui milis yang dikirim ke alamat emailnya. Pertanyaan Bayu itu tidak sempat saya jawab. Saya sudah harus berangkat sementara dia juga sudah harus memeriksa paspor penumpang lain.

Di atas pesawat, pikiran saya masih terganggu oleh pertanyaan Bayu. Apakah setiap orang akan menemukan Lentera Jiwanya? Pertanyaan yang seakan mewakili pertanyaan banyak pembaca tulisan "Lentera Jiwa". Memang, setelah tulisan itu saya muat di Andy's Corner, entah siapa yang memulai, dalam tempo singkat tulisan tersebut beredar dari milis ke milis, ke berbagai alamat email, dan akhirnya berbalik ke saya
melalui email, sms, bahkan facebook.

Tanggapan atas tulisan itu macam-macam. Sudut pandangnya juga berbeda-beda. Setiap orang memberikan tanggapan sesuai persepsi masing-masing. Sungguh menarik. Bahkan ketika saya menjadi tamu di sebuah radio di Kemang, yang mengangkat topik soal Lentera Jiwa, tanggapan yang masuk juga beraneka ragam.

Sebagian pendengar mengatakan dalam hal pekerjaan, mereka lebih mencari "aman" dengan menjadi karyawan di sebuah karena risikonya lebih kecil. Sementara pendengar lain mengaku lebih memilih berwirausaha daripada bekerja untuk orang dan tidak bahagia. Lentera jiwa oleh mereka dimaknai sangat sempit: Siapa yang bekerja untuk dirinya sendiri, merekalah yang sudah menemukan lentera jiwanya. Sementara mereka yang bekerja sebagai pegawai di perusahaan, adalah mereka yang belum menemukan lentera jiwanya.

Menerjemahkan lentera jiwa secara sempit seperti itu sungguh menyesatkan. Lentera jiwa seseorang tidak ditentukan oleh apakah dia bekerja untuk orang lain sebagai karyawan atau bekerja untuk dirinya sendiri. Lentera jiwa seseorang juga tidak ditentukan oleh jabatan, pangkat, gaji, atau jenis pekerjaan. Siapa pun dia, apapun pangkatnya, jabatannya, dan apapun jenis pekerjaan serta berapa pun gajinya, dia bisa saja menemukan lentera jiwanya.

Pangkat tinggi, posisi di puncak, dan gaji besar bukan ukuran yang dipakai untuk menilai apakah seseorang sudah menemukan lentera jiwanya atau belum. Banyak yang yang memiliki kedudukan tinggi, gaji bedar, ternyata tidak bahagia dalam pekerjaannya. Kalaupun dia tetap bertahan, lebih karena faktor rasa aman, tidak berani mengambil risiko, atau sudah pada tahap "nrimo" atas nasibnya. Orang semacam ini belum menemukan lentera jiwanya.

Ukuran yang paling sederhana untuk mengukur apakah dalam bekerja, dalam berkarir, kita sudah menemukan lentera jiwa kita atau belum adalah kebahagiaan. Apakah dalam mengerjakan tugas kita sehari-hari kita bahagia? Tidak perduli apakah kita bekerja sebagai karyawan atau wirausaha, apakah kita bahagia? Tidak perduli gaji kita kecil atau besar, apakah kita senang mengerjakan tugas yang diberikan kepada kita? Apakah
kita mengerjakannya dengan hati atau sekadar demi mempertahankan hidup?

Suatu malam, menjelang toko-toko tutup di sebuah mega mall di Jakarta, saya ke toilet. Ruangannya bersih dan harum. Ada dua petugas cleaning service sedang bekerja. Mereka begitu ceria, begitu riang. Padahal di tengah malam itu hampir semua orang sudah kehabisan enerji. Kok mereka masih bersemangat? Karena penasaran, saya bertanya kepada mereka mengapa terlihat ceria. Bukankah pekerjaan membersihkan
toilet pekerjaan yang tidak menyenangkan? Mereka balik menatap saya dengan pandangan aneh. "Kami senang kok mengerjakannya," ujar salah satu dari mereka.

Beberapa hari kemudian, seorang pembaca Andy's Corner memberi komentar tentang tulisan "Lentera Jiwa". Isinya kurang lebih begini, "Pak Andy, saya bekerja sebagai office boy. Saya bahagia mengerjakan tugas-tugas saya karena saya bisa melayani orang lain. Saya sudah menemukan Lentera Jiwa saya".

Dua kisah di atas mungkin bisa menunjukkan lentera jiwa itu bukan milik mereka yang berkedudukan tinggi atau bergaji besar. Jika Anda bekerja sebagai pegawai negeri dan Anda bahagia mengerjakan tugas-tugas Anda, dan pekerjaan itu sesuai dengan cita-cita Anda sewaktu sekolah dulu, boleh jadi Anda sudah menemukan lentera jiwa Anda. Begitu pula Anda yang keluar dari pekerjaan Anda sebagai karyawan, dan mengambil risiko meninggalkan kedudukan dan gaji tetap Anda, untuk merintis usaha yang Anda sukai dan
ternyata membuat Anda bahagia , bisa jadi Anda juga sudah menemukan lentera jiwa Anda.

Kembali ke pertanyaan Bayu tadi, apakah setiap orang bisa menemukan lentera jiwanya? Jawabannya relatif. Ada yang sudah tahu lentera jiwanya ada di tempat lain, bukan di tempat dia bekerja sekarang, tetapi dia tidak berani atau tidak mampu menggapainya. Tidak mampu atau tidak berani karena risiko yang dihadapi terlalu tinggi. Boleh jadi karena dia harus memikirkan keluarga, anak, istri, atau suami. Memikirkan orang-orang yang secara finansial bergantung padanya. Jika dia meninggalkan pekerjaan yang sekarang untuk mengejar lentera jiwanya, bisa jadi dia bahagia tetapi orang lain tidak.

Ada juga yang sampai sejauh ini belum mengetahui secara persis apa lentera jiwanya. Dia belum menemukan pekerjaan apa yang dapat membuatnya bahagia dan bergairah untuk menjalaninya. Ada juga yang karena tidak ada pilihan. Sudah mendapat pekerjaan yang sekarang saja sudah patut disyukuri. Boro-boro mengejar lentera jiwanya.

Lentera jiwa bukan persoalan salah atau benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar di sini. Persoalannya hanya pada keinginan kita untuk mencari kebahagiaan sebagai manusia. Dalam hal ini konteksnya adalah pekerjaan dan karir. Namun untuk mencapai kebahagiaan tersebut kadang seseorang harus menempuh risiko.

Risiko itulah yang juga saya tempuh ketika harus memilih apakah bekerja untuk Majalah TEMPO yang sudah besar atau menjadi reporter di koran Bisnis Indonesia yang baru diterbitkan. Juga ketika memilih pindah ke Majalah MATRA justru pada saat karir saya di Bisnis Indonesia sedang menanjak pesat. Bukannya jantung istri saya tidak mau copot ketika saya memutuskan pindah dari MATRA, dalam posisi menuju pemimpin redaksi, ke harian Media Indonesia yang baru bangkit setelah harian Prioritas dibreidel.

Pada saat itu, jangan ditanya soal finansial. Secara finansial saya jauh dari mapan. Apalagi saya harus membantu kehidupan kakak-kakak saya. Tetapi ada sesuatu dalam hati ini yang selalu menganggu. Sesuatu yang terus mendorong saya untuk mendapatkan ''sesuatu''. Sesuatu yang membuat saya merasa bahagia. Mungkin itu yang kini saya sadari , bahwa "sesuatu" itu adalah "Lentera Jiwa" saya.

Nah, kutipan ANDY semoga bermanfaat buat Kamu...
Hmmmph, masih bingung ?? merasa belum menemukan ? atau jangan-jangan memang kita benar2 cari aman dan mengacuhkan Lentera Jiwa kita itu ?? Semua terserah ANDA !!!


*)klik banner ANDY, untuk source berita

Lentera Jiwa - Andy F. Noya (1)

Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena 'pecah kongsi' dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi, dengan 'power' yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.

Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.

Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. ''Andy ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.''

Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka
tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.

Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya 'dipindahkan' oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.

Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.

Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari 'keju' itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin
mengikuti 'lentera jiwa' saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.

Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul 'Lentera Jiwa' yang dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang.

Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa 'lentera jiwanya' ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.

Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.

Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. ''Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,'' ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.

Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.

Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang singkat
ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya. Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. ''Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya,'' ujar
Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. ''Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,'' katanya.

Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya.
Berbahagialah mereka yang sudah
mencapai taraf bekerja adalah berekreasi.
Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa
mereka.

Sengaja saya posting disini, tulisan bang ANDY di Andy's Forum yang sangat-sangat menginspirasi banyak orang. Dan membuat milis-milis sibuk membahas "Lentera Jiwa". Beberapa yang tercetak tebal, benar-benar menginspirasi semuanya, dan saya pribadi.